Baru-baru ini, sebuah SMP swasta di Surabaya, Jawa Timur, terlibat dalam perseteruan dengan warga setempat terkait iuran. Masalah ini viral di media sosial dan menarik perhatian Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji. Perseteruan ini dimulai ketika SMP swasta tersebut menolak membayar iuran ratusan juta rupiah yang diminta oleh pihak RW setempat.
Warga setempat merasa perlu menutup akses jalan menuju sekolah sebagai bentuk protes. Mereka mengklaim, keberadaan sekolah menyebabkan kemacetan dan meminta kenaikan iuran untuk penggunaan jalan. Video tentang perseteruan ini menjadi viral di akun Instagram @cakj1, menampilkan penjelasan pihak sekolah kepada Wakil Wali Kota.
Dalam video tersebut, pihak sekolah menjelaskan kepada Armuji bahwa warga menutup satu-satunya akses jalan untuk guru dan murid. Perwakilan warga menyebutkan bahwa sekolah menyebabkan kemacetan di area tersebut. Mereka juga mengeluhkan ketidakmauan pihak SMP untuk menaikkan iuran yang diminta oleh RW.
Armuji menyatakan bahwa masalah ini muncul karena ketidaksetujuan pihak SMP terhadap besaran iuran. SMP tersebut merasa terbebani dengan kewajiban membayar masing-masing Rp 35 juta kepada empat RW sekitar, total Rp 140 juta. Menurut Armuji, awalnya iuran yang diminta adalah Rp 25 juta, kemudian naik menjadi Rp 32 juta, dan akhirnya Rp 35 juta, yang menyebabkan sekolah keberatan.
Wakil Wali Kota Surabaya tersebut turun langsung ke lokasi untuk mencari solusi. Dia menyimpulkan bahwa alasan kemacetan dijadikan sebagai alasan untuk menaikkan iuran. Menurut Armuji, jalan tersebut merupakan fasilitas umum milik pemkot, bukan milik pribadi.
Selain itu, pihak SMP melakukan audit terhadap pengelolaan iuran yang diminta warga dan menemukan adanya sisa anggaran. Mereka menilai bahwa iuran yang diminta terlalu tinggi mengingat kebutuhan sebenarnya, seperti pembayaran gaji satpam.
Armuji akhirnya menyerahkan keputusan kepada pihak SMP mengenai langkah selanjutnya. Apakah sekolah akan melapor ke polisi atau mencari solusi lain masih menjadi pertanyaan. Situasi ini menunjukkan ketegangan antara kebutuhan finansial sekolah dan tuntutan warga setempat yang belum menemui jalan keluar.