Celebrithink.com – Mungkin Anda termasuk yang tidak suka melihat rumah dalam kondisi berantakan. Namun, beres beres rumah butuh tenaga, waktu, dan tekad bulat. Makanya, tidak sedikit orang yang membiarkan rumahnya terlihat berantakan lantaran malas membereskannya.
Padahal, bersih-bersih rumah tidak seharusnya melelahkan dan makan waktu jika Anda tahu caranya yang tepat. Apalagi ada manfaat yang didapat bagi kesehatan fisik dan mental dengan rajin beres-beres rumah.
Bahkan, ada dampak negatif yang mengintai jika membiarkan rumah berantakan. Melansir laman sehatQ, berikut dampak negatif rumah berantakan dan juga kotor.
Stres
Rumah yang kotor, sesak, dan berantakan penuh barang-barang bisa membuat sulit fokus menjalani hari. Tinggal di rumah yang berantakan juga bikin kita mudah kebingungan bermanuver atau menemukan barang di saat perlu. Akibatnya, kita jadi suka bingung atau lupa dengan detil-detil terkecil yang ada di rumah sendiri.
Kebingungan mental inilah yang membuat Anda sulit menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Dalam kondisi tertentu, kebingungan juga bisa memicu stres dan membuat Anda lebih cepat marah.
Sulit tidur nyenyak
Jika Anda memiliki rasa cemas berlebihan, tinggal di rumah yang berantakan dan penuh barang secara tidak langsung bisa memicu kumatnya rasa cemas sampai menyebabkan gangguan tidur. Ketika melihat rumah berantakan, otak mempersepsikan hal itu sebagai “ancaman” sehingga muncullah rasa tidak aman dalam hati dan pikiran. Entah itu karena takut kehilangan barang atau ada serangga yang muncul karena terlalu kotor.
Lama kelamaan, kecemasan yang dibiarkan menumpuk dapat menyebabkan gangguan tidur seperti insomnia. Kurang tidur akan membuat Anda makin cemas dan merasa mudah capek sehingga merasa tidak fit untuk bersih-bersih rumah. Bahkan, kurang tidur juga bisa membuat Anda sulit untuk mengambil keputusan. Salah satunya, keputusan untuk membuang barang yang tidak lagi diperlukan.
Depresi
Sebuah penelitian menemukan bahwa wanita yang tinggal di rumah berantakan berisiko lebih cepat merasa lelah dan depresi. Peneliti juga menemukan bahwa mereka cenderung memiliki tingkat hormon kortisol yang lebih tinggi.
